Selasa, 12 Juni 2012

Al-Qur'an Sebagai Sumber Ajaran Agama Islam


BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan sumber ilmu sumber Agama, Al-Qur’an sebagai kalam Allah, dan Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia. Al-Qur’an bukan pikiran dan ciptaan manusia karena al-Qur’an adalah wahyu yang datangnya dari Allah SWT, turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur dan dengan waktu yang cukup lama, turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak luput dari kesalahan dan kehilafan, oleh karena itu dirurunkannya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai penerang bagi semua uamat manusia khususnya umat Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER AGAMA ISLAM

A. FUNSI AL-QUR’AN
Menurut pendapat yang paling kuat, seperti yang dikemukakan oleh subhi salih, Al-Qur’an berarti bacaan. Ia merupakan kata turunan (mashdar) dari kata Qara’a (Fi’l Madli) dengan arti ism Al-Maf’ul, yaitu Maqru’ yang artinya dibaca (Al-Qur’an dan terjema’ahannya, 1990:15). Pengertian ini merujuk pada sifat Al-Qur’an yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an (Q.S Al-Qiyamah [75] : 17-18). Dalam ayat tersebut Allah berfirman :
Artinya :
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.” (Q.S. Al-Qiyamah 17-18)
Kata Al-Quran selanjutnya dipergunakan untuk menunjukkan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW (Kalam Allah Al-Munazzal Ila Nabi Muhammad SAW). Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi-nabi selain Nabi Muhammad SAW tidak dinamai Al-Qur’an, seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s, Zabur Kepada Nabi Dawud a.s dan injil kepada Nabi isa a.s.
Fath Ridwan (1975 : 74-75) menerangkan bahwa para ahli tafsir bersilang pendapat mengenai penanaman Al-Qur’an. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah nama yang khusus (Khas) bagi firman Allah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, Kedua, sebagian ulama lagi menyatakan bahwa Al-Qur’an diambil dari kata Qira’in (petunjuk atau indikator) karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lainnya saling menguatkan dan membenarkan. Al-Qur’an pun, masih menurut pendapat kedua, diambil dari kata al-qar’u yang berarti kumpulan (al-jam’). Ketiga, ulama yang lainnya memberikan nama lain bagi Al-Qur’an seperti Al-Kitab, Al-Nur, Ar-Rahman, Al-Furqan, Al-Syifa, Al-Maui’zhah, Al-Dzikir, Al-Hukm, Al-Qaul, Al-Naba’, Al-Azhim, Ahsan al-Hadits, Al-Matsany, Al-Tanjil, Al-Ruh, Al-Bayan, Al-Wahy wa Al-Bashir, Al-‘Ilm, Al-Haqq, Al-Shidiq, Al-‘Adl, Al-Amr, Al-Basyary, dan Al-Balag.
Nama-nama lain untuk Al-Qur’an di kembangkan oleh ulama sedemiian rupa, sehingga Abu Hasan Al-Harali dan Abd Al-Ma’ali Syaizalah masing-masing memberikan nama sebanyak 90 dan 55 macam. Pemberian nama terhadap Al-Qur’an yang begitu banyak tidak disetujui oleh sebagian ulama, antara lain subhi shalih. Menurutnya, pemberian nama yang banyak terhadap Al-Qur’an dinilai berlebihan seingga terkesan adanya pencampuradkan antara nama-nama Al-Qur’an dan sifat-sifatnya. (Muhaimin, dkk., 1994 : 88).
Sebagian nama-nama tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, memperlihatkan fungsi-fungsi Al-Qur’an. Dari sudut isi atau substansinya, Al-Qur’an sebagai tersurat dalam nama-namanya adalah sebagai berikut.
a. Al-Huda (Petunjuk). Dalam Al-Qur’an terdapat tiga kategori tentang posisi Al-Qur’an sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum. Allah berfirman: Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu.....” (Q.S. Al-Baqarah 185). Kedua, Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Allah berfirman, “Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan di dalamnya ; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” Q.S Al-Baqarah : 2). Bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi orang tekwa dijelaskan pula dalam ayat lainnya, antara lain surat Ali Imran Ayat 138. Ketiga, petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Allah berfirman : Katakanlan ;” Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman….” (Q.S. Fushshilat 44). Begitu juga, bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang beriman disebutkan pula pada ayat lainnya, antara lain dalam surat Yunus ayat 57.
b. Al-Furqan (Pemisah). Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan yang batil, atau antara yang benar dengan yang salah. Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)…”. (Q.S. Al-Baqarah 185)
c. Al-Syfa (obat). Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit yang ada dalam dada (mungin yang dimaksud di sini adalah penyakit psikologis). Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari tuhanmu dan penyembuh penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada……” Q.S. Yunus : 57)
d. Al-Mau’izhah (Nasihat). Dalam Al-Qur’an diatakan bahwa ia berfungsi sebagai nasihat bagi orang-orang bertakwa. Allah berfirman, “Al-Qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imran 138)
Demikian fungsi Al-Qur’an yang diambil dari nama-namanya yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an, sedangkan fungsi Al-Qur’an dari pengalaman dan penghayatan terhadap isinya bergantung pada kualitas ketakwaan individu yang bersangkutan. Karena bersifat personal, maka pengalaman tersebut hampir dipastikan berbeda-beda, meskipun persamaan-persamaan pengalaman itu pun tidak diabaikan. Bagi kalangan tertentu, misalnya, Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai media untuk menjaga diri, dan karena itulah kita sering melihat “isim” atau jimat yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an.

B. AL-QUR’AN SEBAGAI FIRMAN ALLAH
Masih dengan mempertimbangkan nama-nama Al-Qur’an, kita dapat menangkap kesamaan-kesamaan yang pada akhirnya ulama menyebutnya sebagai hakikat Al-Qur’an, yaitu bahwa ia merupakan wahyu atau kalam Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Isinya penuh dengan ilmu yang terbebas dari keraguan (Q.S Al-Baqarah 2), Kecurangan Q.S. Al-Naml 1), pertentangan (Q.S. Al-Nisa 82) dan kejahilan (Q.S Al-Syu’ara) 210). Ia juga merupakan penjelmaan dari kebenaran, keseimbangan pemikiran dan karunia. (Q.S. Al-An’am 155).
Sebagai wahyu, Al-Qur’an bukan pikiran dan ciptaan Nabi Muhammad SAW, oleh karena itu, mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu pikiran dan ciptaan Nabi Muhammad SAW, tidak benar dan tida dapat dipertanggungjawabkan.
Perdebatan sekitar otentisitas Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, Allah menantang kepada penentang Al-Qur’an untuk membuat satu surat yang seisal dengan Al-Qur’an. Allah berfirman,
Artinya :
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang memang benar.” Q.S Al-Baqarah 23).
Tantanga tersebut disertai pula dengan ancaman berupa kepastian bahwa manusia tidak akan mampu menciptakan Al-Qur’an, Allah berfirman,
Artinya :
“Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Q.S Al-Baqarah 24).
Setelah perdebatan itu terjadi, terdapat pula orang yang meragukan otentisitas Al-Qur’an karena dianggap telah ditervensi oleh manusia, terutama umat islam generasi pertama yang kita kenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW, Allah menjamin Bahwa Al-Qur’an dipelihara dengan sebagik-baiknya. Ia berfirman, “Sesungguhnya kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S Al-Hijr 9)
Demikianlah kedudukan Al-Qur’an sebagai firman Allah. Berdasarkan substansinya, Al-Qur’an bukanlah ciptaan Nabi Muhammad SAW, ia dipelihara oleh Allah yang mewahyukannya.

C. ‘ULUM AL-QUR’AN DAN TAFSIR
Dilihat dari sejarah dan proses pewahyuan, Al-Qur’an tidak diturunkan secara sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu secara periodik, sedikit demi sedikit dan ayat demi ayat. Hikamah pewahyuan semacam ini adalah untuk memberikan pemahaman bahwa setiap Al-Qur’an tidak hampa sosial. Pewahyuannya sangat bergantung pada lingkup dan persoalan-persoalan kemasyarakatan dari aspek ini, sebagian ayat Al-Qur’an merupakan jawaban terhadap berbagai persoalan sosial yang melanda kehidupan manusia.
Tenggang waktu pewahyuan berlangsung selama kurang lebih 23 tahun yang secara geografis terbagi dua fase. Pertama, ketika Nabi Muhammad berada di kota Madinah selama 10 tahun. Pendapat ini umumnya dipegang oleh para ulama ‘Ulum Al-Qur’an. Muhaimin dkk., 1994 :89).
M. Quraish Shihab (1995:35-38) membagi proses pewahyuan melalui pendekatan isi atau kandungan ayat. Ia selanjutnya membagi proses penurunan wahyu itu kepada tiga periode. Pertma, Periode ketika Nabi Muhammad SAW masih berstatus Nabi, yaitu dengan diterimanya wahyu pertama, Surat Al-Alaq. Status beliau lalu berubah menjadi rasul dengan tugas menyampaikan ajaran kepada masyarakat, yaitu setelah beliau mendapat wahyu kedua (Q.S. Al-Muddatsir : 1-2). Ayat-ayat yang diturunkan pada fase ini tergolong ayat-ayat makiyah yang mengandung tiga hal : Pertama, masalah pendidikan bagi Rasul Allah SAW dalam membentuk kepribadiannya (Q.S AlMuddatsir 1-7), (Q.S. AlMuzzamil 1-5), (Q.S. Al-Syu’ara 214-216); Kedua, Ajaran mengenai pengetahuan dasar tentang sifat dan perbuatan Allah (af’al Allah), seperti yang terlukis dalam surat al-A’la dan surat al-Ikhlash yang intinya memuat ajaran tauhid dan penyucian diri (tanzih) ; Ketiga, ajaran tentang dasar-dasar akhlak islamiah serta bantahan terhadap pandangan hidup jahiliyah. Periode ini berlangsung antara empat sampai lima tahun.
Kedua, Periode terjadinya pertarungan antara gerakan islam dan kaum jahiliyah yang berlangsung antara 8 sampai 9 tahun. Ayat-ayat pada periode ini disebut ayat-ayat madaniyyah yang umumnya menerangkan masalah kemasyarakatan.
Masih menuruh M. Kuraish Shihab (1996 ; 4), kosakata yang terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 77.439 kata dengan jumlah huruf sebanyak 323.015. dari jumlah kata dan huruf tersebut, menurut abd al-Rahman al-Salami, al-Sayuti, dan al-Lusi yang dikutip oleh kafrawi Ridwan dkk,. Jumlah ayatnya secara berturut-turut adalah 6.326 ayat, 6.000 ayat, 6.616 ayat. Perbedaan jumlah ayat disebabkanoleh perbedaan pandangan mengetani masuk-tidaknya kalimat basmalaah dan fawatih al-suwar kepada bagian dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Jumlah ayat-ayat tersebut selanjutnya dibagi kepada 554 ruku’ yaitu dengan cara menandainya denga huruf ‘ain di bagian pinggir halaman Al-Qur’an. Ia pun selanjutnya dibagi kepada 3 juz dan 114 surat yang adal di dalam Al-Qur’an, dilihat dari panjang pendeknya, terjadi kepada empat kelompok yaitu sebagai berikut :
1. Al-sab’al-tiwal, yaitu tujuh surat yang panjang, terdiri dari surat Al-Baqarah, Ali Imran, Al-Nisa, Al-A’raf, Al-An’am, Al-Maidah, dan yunus.
2. Al-Mi’un, yaitu surat-surat yang memuat sekitar 100 ayat lebih, seperti surta hud, surrat Yusuf, dan surat Mu’min.
3. Al-Matsani, yaitu surat-surat yang isinya kurang dari 100 ayat, seperti surat Al-Anfal dan surat Hijr.
4. Al-Mufashal, yaitu surat-surat pendek, seperti al-Duha, Al-Ikhlas, Al-Nas, Al-Falaq, Al-Buruj, Al-Kafirun, dan Al-Ma’un (Al-Qur’an dan Terjemaahannya, t.th :17)
Adapun cara Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW adalah melalui beberapa cara berikut :
  1. Malaikat memasukan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad
  2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki.
  3. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAWdalam rupanya yang asli
  4. Wahyu datang kepada Nabi Muhammad SAW seperti seperti gemerincingnya lonceng.
Selanjutnya mengetani penulisan ayat-ayat Al-Qur’an Pada masa Nabi Muhammad, ayat-ayat Al-Qur’an masih berserakan dalam bentuk tulisan di atas pelapah daun kurma, lempengan batu, dan kepingan tulang, di samping terpelihara dalam hafalan para sahabat. Para penghafal pada masa itu ialah Al-khulafah al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khathab, Usman bin Affan dan ali bin thalib), Sa’ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Muawiyah bin abu Sufyan, ‘Aisyah dan yang lainnya. Adapun para penulis wahyu diantaranya ialah Al-Khulafah al-Rasyidin, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, dan khalid bin walid.
Pada zaman abu bakar, para penghafal dan penulis wahyu banyak yang gugur di medan perang melawan musuh islam, terutama perang yamamah. Oleh karena itu, atas usul Umar bin Khatab, ayat-ayat yang masih berceceran pada benda-benda tersebut di himpun dalam mushaf. Tim penghimpun terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketuanya dibantu oleh ubay bin Ka’ab, Usman bin Affan, ali bin abi Thalib, dan para sahabat lainnya sebagai anggota. Hasil kerja tim adalah terkumpulnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk mushaf yang selanjutnya di simpan di rumah abu bakar.
Pada zaman Umar bin Khatab, mushaf disimpan di rumahnya. Setelah di meninggal dunia, mushaf selanjutnya disimpan di rumah hafshah, putri Umar bin Khatab, istri Nabi SAW. Pada masa usman bin affan, mushaf lebih disempurnakan sehingga tersusunlah lima mushaf Utsmani. Suatu mushaf disimpan di madinah yang kemudian disebut mushaf al-imam dan empat lainnya masing masing dikirim ke mekah, suriah, Basharah dan kufah untuk di salin dan diperbanyak. Selanjutnya, usman bin affan menyuruh memusnahkan seluruh mushaf selain mushaf Utsmani. Mushaf hasil kerja tim ini kemudian dijadikan mushaf standar untuk penulisan dan pencetakan Al-Qur’an pada tahun-tahun berikutnya.
Kini beralih ke kandungan dan pesan-pesan yang dimuat oleh Al-Qur’an. Pada bahasan terdahulu dijelaskan bahwa Al-Qur’an merupaka nkitab Suci umat islam yang berfungsi sebagai petunjuk, tidak hanya bagi umat islam tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Sebagai petunjuk, Al-Qur’an memuat aturan dan ajaran yang meliputi berbagai dimensi kehidupan.
Menurut tim yang dibentuk oleh Departemen Agama Republik Indonesia (1985 : 84-85), pesan-pesan yang dikandung oleh Al-Qur’an ialah tauhid, Ibadah, jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta riwayat dan cerita tentang sejarah orang-orang terdahulu. Abdul Wahab Khallaf menyebutkan bahwa isi kandungan Al-Qur’an itu ialah masala akidah (Masalah ‘itiqadiyah). Dan masalah amaliah yang mencakup ibadah dan muamalah. Khallaf merinci muamalah menjadi muamalah yang berkaitan dengan individu (perdata), jinayah, Siyasah, dusturiyah, acara peradilan, ketatanegaraan (dauliyah), dan masalah ekonomi.
Dilihat dari segi jelas tidaknya, para ulama mengelompokkan ayat-ayat Al-Qur’an kepda dua bagian : ayat-ayat yang cukup jelas (muhkamat), dan ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut yang disebut ayat-ayat mutsyabihat. Oleh karena itu, di dalam memahami Al-Qur’an, para ulama memerlukan perangkat lain untuk memudahkannya, lebih-lebih dari sebagian ayat ada pula yang masih bersifat umum atau global.
Ilmu bantu untuk memahami Al-Qur’an diantaranya ‘Ulum al-Qur’an dan ilmu tafsir. Dalam ulum Al-Qur’an dibahas, umpamanya, ayat-ayat makiyyah, sebab-sebab turun Al-Qur’an (asbab nuzul), i’rab al-Qur’an, ilmu Qira’ah, muhkam dan mutasyabih, am dan khas, nasikh dan mansukh muthlaq dan muqayyad dan mafhum, haqiqah dan majaz, kinayah, ijaj dan ithnab, dan ta’wil. (jalal al-Din al-Syuthi, t.th 203 dan 209).
Adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang masih dalam bentuk garis besar memberikan peluang kepada para mufasir untu menjelaskannya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, mereka tentu saja menggunakan kaidah-kaidah yang sebagaiannya diambil dari ‘ulum Al-Qur’an.
Secara bahasa, tafsir berarti penjelasan dan keterangan (al-Idlah wa al-bayan) (Muhammad Husaeni al-Dzahabi, 1976: 13).
Disamping itu, ia pun berasal dari wazan taf’il dari kata fasara yang berarti menerangkan, membuka dan menjelaskan makna yang ma’qul (Manna’ al-Qathan, 1981 : 227).
Secara istilah, ilmu tafsir, menurut Abu hayan, ialah ilmu yang membahas cara melafalkan lafad-lafad Al-Qur’an serta menerangkan makna yang dimaksudnya sesuai dengan dilalah (petunjuk) yang zahir sebatas kemampuan manusia. Oleh karena itu, ilmu tafsir berusaha mencoba menjelaskan kehendak Allah dalam batas kemampuan para mufasir.
Berangkat dari makna tafsir, baik secara bahasa maupun istilah, tafsir berfungsi menjelaskan segala yang diisyaratkan oleh Allah SWT Kepada Manusia untuk di taati dan dilaksanakan. (abd. Al-Hayyi al-farmawi, 1977: 16).
Melihat posisi tafsir di samping Al-Qur’an, maka tidak semua orang islam dapat menafsirkan Al-Qur’an sekehendaknya. Ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang muslim agar dapat menafsirkan Al-Qur’an. Syarat-syarat itu ialah mengetahui dan memahami bahasa arab dengan segala isinya, mengetahui ilmu sebab-sebab turun (asbab al-nuzul), mengetahui ilmu qira’ah, mengetahui ilmu tauhid, mengetahui ilmu nasikh dan mansukh, dan mengetahui hadis-hadis nabi. (Kafrawi Ridwan dkk., 1994 : 30)
Sebagaimana kafrawi dkk., Abdul Hayi al-Farmawi (1977;17-20) mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufasir, yaitu pertama, seorang mufasir harus mempunyai i’tiqad yang kuat serta konsisten terhadap islam ; kedua, harus mempunyai keikhlasan dan kemurnian tujuan ; ketiga, mendasarkan tafsirnya kepada al-sunah ; keempat, mempunyai wawasan yang luas atas berbagai ilmu bantu seperti ahasa Arab dan yang lainnya.
Seperti halnya ilmu pengetahuan lain, ilmu tafsir pun mengalami pertumbuhan dan perkembangan, mulai masa Nabi Muhammad SAW sampai masa kini. Pada masa Nabi, pemegang otoritas penafsiran Al-Qur’an itu adalah Nabi sendiri sehingga segala persoalan yang muncul selalu dikembalikan kepadanya. Namun, setelah beliau wafat, otoritas itu ada pada sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in yang telah memenuhi persyaratan.
Quraish shihab (1995 ; 71-72) membagi periode tafsir kepada dua bagian. Pertama periode Nabi, sahabat dan tabi’in sampai kira-kira tahun 150H. Kelompok tafsir periode ini disebut tafsir bi al-ma’tsur. Corak tafsir ini bersumber pada penafsiran Rasulullah, penafsiran sahabat, dan penafsiran tabi’in. Departemen Agama Republik Indonesia menyebut periode pertama ini dengan Periode Mutaqadimin denga tenggang waktu lebih lama dibandingkan dengan yang di kemukakan oleh Quraish Shihab. Periode Mutaqaddimin, menurut Departemen Agama Republik Indonesia, berlangsung sejak masa Nabi Muhammad SAW sampai kira-kira abad ke-4 Hijrah.
Pada ahli tafsir pada sahabat yang terkenal diantaranya al-khulafa’ al-Rasyidin yang empat, ibnu mas’ud, abd Allah bin Abbas (68 H), Ubay bin ka’ab (19H), Zaid bin Tsabit, abu Musa al-Asy’ary, dan abd Allah bin Zubair. Di antara mereka yang paling terkenal ialah abd Alah bin Abbas.
Tafsir para sahabat selanjutnya dijadikan rujukan oleh para murid-muridnya (tabi’in) sehingga lahirlah thabaqat al-mufassirin (tingkatan para penafsir). Di mesir muncul thabaqat yang tafsirnya merujuk pada tafsir abd Allah bin abbas. Dimadinah muncul thabaqat lain, seperti Zaid bin Tsabit, abd Al-Rahman bin Salam, dan imam malik bin anas. Dikufah muncul thabakat yang bersumber dari ibnu Mas’ud.
Dari masa tabi’in beralih ke masa tabi’ tabi’in. Diantara mereka yang terkenal adalah Sufyan bin Uyainah, Zaid bin Harun, Syu’ban bin Hajjaj, dan waqi al-Jarrah sampai akhirnya muncul Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabrani (w.310 H.) dengan kraya tafsirnya Jami’at al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an yang merupakan tafsir bi al-Ma’tsur.
Kedua, periode ketika hadis-hadis Rasul Allah telah beredar luas dan berkembang hadis-hadis palsu di tengah-tengah masyarakat sehingga menimbulkan banyak persoalan yang belum terjadi sebelumnya. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, para mufasir mulai berijtihad. Kegiatan ijtihad pada mulanya masih terikat pada kaidah-kaidah bahasa serta makna kosakata. Namun, sejalan dengan berkembangnya masyarakat, peran akal dalam berijtihad menjadi lebih subur. Ujungnya, lahir tafsir yang coraknya berbeda denga tafsir coraknya berbeda dengan tafsir corak pertama (M. Quraish Shihab : 1995 ; 72 ). Periode kedua tersebut oleh Departemen Agama Republik Indonesia sebagai periode muta’akhirin yang berlangsung antara abad ke-4 sampai abad ke-12 Hijriyah.
Corak tafsir yang muncul pada periode kedua diantaranya sebagai berikut :
  1. Corak kebahasaan, artinya Al-Qur’an ditafsirkan melalui pendekatan gaya keindahan bahasa, seperti Tafsir al-Kasysyaf yang ditulis oleh Zamaksyari. Masih tafsir yang bercorak ke bahasaan, tetapi melalui pendekatan tata bahasa adalah tafsir Ma’ani al-Qur’an dan Tafsir al-Bahr al-Muhith yang secara berturut-turut ditulis oleh al-Ziyad al-Wahdi dan abu hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusy.
  2. Corak tafsir yang bahasanya menitikberatkan pada kisah-kisah umat terdahul, seperti yang ditulis oleh al-Tsalabi, ‘alaudin bin Muhammad al-Bagdadi.
  3. Corak fikih dan hukum, seperti Tafsir jami’ al-Qur’an, ahkam al-Qur’an, dan Nail al-Maram yang masing-masing ditulis oleh al-Qurtubi, Ibnu ‘Arabi dan al-Jashash, dan hasan shidiq Khan.
  4. Corak tafsir yang menafsirkan ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah SWT, seperti Tafsir Maftah al-Ghaib karya imam Al-Razi (w.610 H).
  5. Corak tafsir yang menitikberatkan pada isyarat ayat yang berhubungan dengan tasawuf, seperti tafsir yang ditulis oleh abu Muhammad Sahl bin Abd Allah al-Tsauri.
  6. Tafsir corak gharib (yang jarang dipakai dalam keseharian), seperti tafsir yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul baqi, yaitu Mu’jam Garab Al-Qur,an.
Disamping keenam corak tafsir diatas , M.Quraish Shihab (1995;72-73) memasukan corak tafsir yang lain, yaitu tafsir bercorak filsafat dan teologi, tafsir dengan penafsiran ilmiah, tafsir yang bercorak sastra budaya kemasyarakatan, tafsir tematik (maudlu’i) dan tafsir ilmi.
Masih dalam periode kedua atau periode mutaakhirin, lahir pula tafsir dari kalangan Muktazillah dan syi’ah. Tafsir dari kalangan Muktazilah diantaranya ialah Tanzih al-Qur’an ‘an al-mata’in karya abd al-Qasim al-Thahrir, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa al-Uyun al-Aqwal al-Ta’wil karya abu Al-Qasim Muhammad bin Umar Al-Zamaksyari. Kelompok Syiah juga menulis banyak kitab tafsir yang bahasannya lebih menitikberatkan pada Ali bin Abi Thalib.
Departemen Agama Republik Indonesia masih menambah satu periode lagi mengenai perkembangan tafsir, yaitu periode ketiga yang disebut Periode Baru yang dimulai abad ke-9 M. Dalam sejarah perkembangan pemikiran umat islam, periode ini dikenal dengan Periode Kebangkitan Kembali. Pada periode ini muncul tokoh-tokoh pembaru seperti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan, dan Ahmad Dahlan.
Kelahiran para pembaru berpengaruh terhdap karya tafsir mereka. Tafsir yang menulis pada periode ini diantaranya al-Manar yang mulanya ditulis oleh Muhammad Abduh lalul diselesaikan oleh muridnya, Rasyid Ridha, Tafsir Mahasin Al-Ta’wil karya Jamal al-Din al-Qasimi, dan tafsir Jawahir karya Thanthawil Jauhari.
Dilihat dari keterlibatan akal (ra’yu) dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, tafsir terbagi dua kelompok, tafsir bi al-ma’atsur dan tafsir bi al-ra’y. Tafsir kelompok pertama diantaranya ialah jami’ al-bayan fi Tafsir al-Qur’an karya al-Thabari, Bahr al-Ulum karya Nashr bin Muhammad al-Samarkand, al-Kasyf wa al-bayan ‘an Tafsir al-Qur’an karya abu ishaq al-Tsalbi, ma’alim al-Tanzil karya muhammad al-Hasan al-Bagawi, Al-Muharir al-Wajiz fi tafsir al-Kitab al-‘aziz karya Muhammad al-Andalusi.
Adapun tafsir kelompok kedua (bi al-ra’y) di antaranya al-Bahrul al-Muhith karya al-Andalusi, Gharib al-Qur’an wa Ragib al-Furqan karya Nasamuddin al-Naisabur, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim wa al-Sab’a al-Matsani karya al-‘allamah al-Lusi, dan mafatih al-Gharib karya fakhr al-Din al-Razi.
Jenis tafsir, baik bi al-Ma’tsur maupun bi al-ra’y, sebetulnya masih banyak. Sekadar contoh, penulis rasa cukup seperti disebutkan diatas. Tafsir-tafsir yang berbahasa Arab itu selanjutnya ada yang dialihbahasakan ke bahasa lain, seperti bahasa Indonesia dn bahasa Inggris.

III.   KESIMPULAN

v  Al Quran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dalam Bahasa Arab, merupakan mukjizat Rasulullah, diajarkan secara mutawattir dari genersi ke generasi, dimulai dari surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat An Nas, membacanya merupakan ibadah serta terjaga dari perubahan dan pergantian.
v  Nama-nama lain dari Al Quran meliputi: Al Kitab, Al Kalam, Al Furqan, Adz Dzikri, Al Huda, An Nur dan Asy Syifa.
v  Kandungan Al Quran meliputi: Prinsip-prinsip keimanan, Prinsip-prinsip syariah Prinsip-prinsip ibadah, Prinsip-prinsip akhlak atau etika, Janji dan ancaman Sejarah kisah-kisah masa lalu dan Ilmu pengetahuan.
v  Fungsi Al Quran meliputi: sebagai pedoman hidup dan pemberi petunjuk kepada umat manusia, sebagai penjelas terhadap petunjuk tersebut, sebagai rahmat dan kabar gembira bagi orang orang yang bertaqwa, sebagai penyempurna terhadap kitab-kitab yabg telah turun sebelumnya serta sebagai mukjizat terakhir dan terbesar bagi Nabi Muhammad SAW.

IV.      PENUTUP

Alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT dengan kekuasaannya dan dengan petunjuknya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini kita semua dapat mengetahui dan memahami adanya Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sehingga dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin penyajian makalah ini jauh dari kesempurnaan untuk itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini juga dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar