BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan sumber ilmu sumber Agama, Al-Qur’an
sebagai kalam Allah, dan Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Al-Qur’an bukan pikiran dan ciptaan manusia karena al-Qur’an adalah wahyu yang
datangnya dari Allah SWT, turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur dan dengan
waktu yang cukup lama, turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak luput dari
kesalahan dan kehilafan, oleh karena itu dirurunkannya Al-Qur’an kepada Nabi
Muhammad SAW, sebagai penerang bagi semua uamat manusia khususnya umat Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER AGAMA ISLAM
A. FUNSI AL-QUR’AN
Menurut pendapat yang paling kuat,
seperti yang dikemukakan oleh subhi salih, Al-Qur’an berarti bacaan. Ia
merupakan kata turunan (mashdar) dari kata Qara’a (Fi’l Madli) dengan arti ism
Al-Maf’ul, yaitu Maqru’ yang artinya dibaca (Al-Qur’an dan terjema’ahannya,
1990:15). Pengertian ini merujuk pada sifat Al-Qur’an yang difirmankan-Nya
dalam Al-Qur’an (Q.S Al-Qiyamah [75] : 17-18). Dalam ayat tersebut Allah
berfirman :
Artinya :
Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya
itu.” (Q.S. Al-Qiyamah 17-18)
Kata
Al-Quran selanjutnya dipergunakan untuk menunjukkan kalam Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW (Kalam Allah Al-Munazzal Ila Nabi Muhammad SAW). Kalam
Allah yang diwahyukan kepada Nabi-nabi selain Nabi Muhammad SAW tidak dinamai
Al-Qur’an, seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s, Zabur Kepada
Nabi Dawud a.s dan injil kepada Nabi isa a.s.
Fath
Ridwan (1975 : 74-75) menerangkan bahwa para ahli tafsir bersilang pendapat
mengenai penanaman Al-Qur’an. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa
Al-Qur’an adalah nama yang khusus (Khas) bagi firman Allah yang di turunkan
kepada Nabi Muhammad SAW, Kedua, sebagian ulama lagi menyatakan bahwa
Al-Qur’an diambil dari kata Qira’in (petunjuk atau indikator) karena ayat-ayat
Al-Qur’an satu sama lainnya saling menguatkan dan membenarkan. Al-Qur’an pun,
masih menurut pendapat kedua, diambil dari kata al-qar’u yang berarti
kumpulan (al-jam’). Ketiga, ulama yang lainnya memberikan nama lain bagi
Al-Qur’an seperti Al-Kitab, Al-Nur, Ar-Rahman, Al-Furqan, Al-Syifa,
Al-Maui’zhah, Al-Dzikir, Al-Hukm, Al-Qaul, Al-Naba’, Al-Azhim, Ahsan al-Hadits,
Al-Matsany, Al-Tanjil, Al-Ruh, Al-Bayan, Al-Wahy wa Al-Bashir, Al-‘Ilm,
Al-Haqq, Al-Shidiq, Al-‘Adl, Al-Amr, Al-Basyary, dan Al-Balag.
Nama-nama
lain untuk Al-Qur’an di kembangkan oleh ulama sedemiian rupa, sehingga Abu
Hasan Al-Harali dan Abd Al-Ma’ali Syaizalah masing-masing memberikan nama
sebanyak 90 dan 55 macam. Pemberian nama terhadap Al-Qur’an yang begitu banyak
tidak disetujui oleh sebagian ulama, antara lain subhi shalih. Menurutnya,
pemberian nama yang banyak terhadap Al-Qur’an dinilai berlebihan seingga
terkesan adanya pencampuradkan antara nama-nama Al-Qur’an dan sifat-sifatnya.
(Muhaimin, dkk., 1994 : 88).
Sebagian
nama-nama tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, memperlihatkan
fungsi-fungsi Al-Qur’an. Dari sudut isi atau substansinya, Al-Qur’an sebagai tersurat
dalam nama-namanya adalah sebagai berikut.
a. Al-Huda (Petunjuk).
Dalam Al-Qur’an terdapat tiga kategori tentang posisi Al-Qur’an sebagai
petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum. Allah berfirman:
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an yang berfungsi sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu.....”
(Q.S. Al-Baqarah 185). Kedua, Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang
yang bertakwa. Allah berfirman, “Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan di
dalamnya ; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” Q.S Al-Baqarah : 2). Bahwa
Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi orang tekwa dijelaskan pula dalam
ayat lainnya, antara lain surat Ali Imran Ayat 138. Ketiga, petunjuk
bagi orang-orang yang beriman. Allah berfirman : Katakanlan ;” Al-Qur’an
itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman….” (Q.S.
Fushshilat 44). Begitu juga, bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang
beriman disebutkan pula pada ayat lainnya, antara lain dalam surat Yunus ayat
57.
b. Al-Furqan (Pemisah).
Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk membedakan dan bahkan
memisahkan antara yang hak dan yang batil, atau antara yang benar dengan yang
salah. Allah berfirman, “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an
yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)…”. (Q.S.
Al-Baqarah 185)
c. Al-Syfa (obat). Dalam
Al-Qur’an dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit yang
ada dalam dada (mungin yang dimaksud di sini adalah penyakit psikologis). Allah
berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
tuhanmu dan penyembuh penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada……” Q.S. Yunus
: 57)
d. Al-Mau’izhah
(Nasihat). Dalam Al-Qur’an diatakan bahwa ia berfungsi sebagai nasihat bagi
orang-orang bertakwa. Allah berfirman, “Al-Qur’an ini adalah penerangan bagi
seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”
(Q.S. Ali Imran 138)
Demikian fungsi Al-Qur’an yang diambil dari nama-namanya
yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an, sedangkan fungsi Al-Qur’an dari
pengalaman dan penghayatan terhadap isinya bergantung pada kualitas ketakwaan
individu yang bersangkutan. Karena bersifat personal, maka pengalaman tersebut
hampir dipastikan berbeda-beda, meskipun persamaan-persamaan pengalaman itu pun
tidak diabaikan. Bagi kalangan tertentu, misalnya, Al-Qur’an dapat berfungsi
sebagai media untuk menjaga diri, dan karena itulah kita sering melihat “isim”
atau jimat yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an.
B. AL-QUR’AN
SEBAGAI FIRMAN ALLAH
Masih
dengan mempertimbangkan nama-nama Al-Qur’an, kita dapat menangkap
kesamaan-kesamaan yang pada akhirnya ulama menyebutnya sebagai hakikat
Al-Qur’an, yaitu bahwa ia merupakan wahyu atau kalam Allah yang disampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW. Isinya penuh dengan ilmu yang terbebas dari keraguan
(Q.S Al-Baqarah 2), Kecurangan Q.S. Al-Naml 1), pertentangan (Q.S. Al-Nisa 82)
dan kejahilan (Q.S Al-Syu’ara) 210). Ia juga merupakan penjelmaan dari
kebenaran, keseimbangan pemikiran dan karunia. (Q.S. Al-An’am 155).
Sebagai
wahyu, Al-Qur’an bukan pikiran dan ciptaan Nabi Muhammad SAW, oleh karena itu,
mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu pikiran dan ciptaan Nabi Muhammad
SAW, tidak benar dan tida dapat dipertanggungjawabkan.
Perdebatan
sekitar otentisitas Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, Allah menantang
kepada penentang Al-Qur’an untuk membuat satu surat yang seisal dengan
Al-Qur’an. Allah berfirman,
Artinya :
“Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada
hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang
memang benar.” Q.S Al-Baqarah 23).
Tantanga
tersebut disertai pula dengan ancaman berupa kepastian bahwa manusia tidak akan
mampu menciptakan Al-Qur’an, Allah berfirman,
Artinya :
“Maka
jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat
(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Q.S Al-Baqarah 24).
Setelah
perdebatan itu terjadi, terdapat pula orang yang meragukan otentisitas
Al-Qur’an karena dianggap telah ditervensi oleh manusia, terutama umat islam
generasi pertama yang kita kenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW, Allah
menjamin Bahwa Al-Qur’an dipelihara dengan sebagik-baiknya. Ia berfirman, “Sesungguhnya
kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya.” (Q.S Al-Hijr 9)
Demikianlah kedudukan Al-Qur’an sebagai firman Allah.
Berdasarkan substansinya, Al-Qur’an bukanlah ciptaan Nabi Muhammad SAW, ia
dipelihara oleh Allah yang mewahyukannya.
C. ‘ULUM AL-QUR’AN DAN TAFSIR
Dilihat dari sejarah dan proses pewahyuan, Al-Qur’an
tidak diturunkan secara sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu
secara periodik, sedikit demi sedikit dan ayat demi ayat. Hikamah pewahyuan
semacam ini adalah untuk memberikan pemahaman bahwa setiap Al-Qur’an tidak
hampa sosial. Pewahyuannya sangat bergantung pada lingkup dan
persoalan-persoalan kemasyarakatan dari aspek ini, sebagian ayat Al-Qur’an
merupakan jawaban terhadap berbagai persoalan sosial yang melanda kehidupan
manusia.
Tenggang waktu pewahyuan berlangsung selama kurang lebih
23 tahun yang secara geografis terbagi dua fase. Pertama, ketika Nabi Muhammad berada di kota Madinah selama 10 tahun. Pendapat
ini umumnya dipegang oleh para ulama ‘Ulum Al-Qur’an. Muhaimin dkk.,
1994 :89).
M. Quraish Shihab (1995:35-38) membagi proses
pewahyuan melalui pendekatan isi atau kandungan ayat. Ia selanjutnya membagi
proses penurunan wahyu itu kepada tiga periode. Pertma, Periode ketika
Nabi Muhammad SAW masih berstatus Nabi, yaitu dengan diterimanya wahyu pertama,
Surat Al-Alaq. Status beliau lalu berubah menjadi rasul dengan tugas
menyampaikan ajaran kepada masyarakat, yaitu setelah beliau mendapat wahyu
kedua (Q.S. Al-Muddatsir : 1-2). Ayat-ayat yang diturunkan pada fase ini
tergolong ayat-ayat makiyah yang mengandung tiga hal : Pertama,
masalah pendidikan bagi Rasul Allah SAW dalam membentuk kepribadiannya (Q.S
AlMuddatsir 1-7), (Q.S. AlMuzzamil 1-5), (Q.S. Al-Syu’ara 214-216); Kedua,
Ajaran mengenai pengetahuan dasar tentang sifat dan perbuatan Allah (af’al
Allah), seperti yang terlukis dalam surat al-A’la dan surat al-Ikhlash yang
intinya memuat ajaran tauhid dan penyucian diri (tanzih) ; Ketiga, ajaran
tentang dasar-dasar akhlak islamiah serta bantahan terhadap pandangan hidup
jahiliyah. Periode ini berlangsung antara empat sampai lima tahun.
Kedua, Periode terjadinya pertarungan antara gerakan
islam dan kaum jahiliyah yang berlangsung antara 8 sampai 9 tahun. Ayat-ayat
pada periode ini disebut ayat-ayat madaniyyah yang umumnya menerangkan masalah
kemasyarakatan.
Masih menuruh M. Kuraish Shihab (1996 ; 4), kosakata
yang terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 77.439 kata dengan jumlah huruf sebanyak
323.015. dari jumlah kata dan huruf tersebut, menurut abd al-Rahman al-Salami,
al-Sayuti, dan al-Lusi yang dikutip oleh kafrawi Ridwan dkk,. Jumlah ayatnya
secara berturut-turut adalah 6.326 ayat, 6.000 ayat, 6.616 ayat. Perbedaan
jumlah ayat disebabkanoleh perbedaan pandangan mengetani masuk-tidaknya kalimat
basmalaah dan fawatih al-suwar kepada bagian dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Jumlah ayat-ayat tersebut selanjutnya dibagi kepada
554 ruku’ yaitu dengan cara menandainya denga huruf ‘ain di
bagian pinggir halaman Al-Qur’an. Ia pun selanjutnya dibagi kepada 3 juz dan
114 surat yang adal di dalam Al-Qur’an, dilihat dari panjang pendeknya, terjadi
kepada empat kelompok yaitu sebagai berikut :
1. Al-sab’al-tiwal, yaitu tujuh surat yang panjang,
terdiri dari surat Al-Baqarah, Ali Imran, Al-Nisa, Al-A’raf, Al-An’am,
Al-Maidah, dan yunus.
2. Al-Mi’un, yaitu surat-surat yang memuat sekitar 100
ayat lebih, seperti surta hud, surrat Yusuf, dan surat Mu’min.
3. Al-Matsani, yaitu surat-surat yang isinya kurang dari
100 ayat, seperti surat Al-Anfal dan surat Hijr.
4. Al-Mufashal, yaitu
surat-surat pendek, seperti al-Duha, Al-Ikhlas, Al-Nas, Al-Falaq, Al-Buruj,
Al-Kafirun, dan Al-Ma’un (Al-Qur’an dan Terjemaahannya, t.th :17)
Adapun cara Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi
Muhammad SAW adalah melalui beberapa cara berikut :
- Malaikat
memasukan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad
- Malaikat
menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki.
- Malaikat
menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAWdalam rupanya yang asli
- Wahyu datang kepada Nabi Muhammad
SAW seperti seperti gemerincingnya lonceng.
Selanjutnya
mengetani penulisan ayat-ayat Al-Qur’an Pada masa Nabi Muhammad, ayat-ayat
Al-Qur’an masih berserakan dalam bentuk tulisan di atas pelapah daun kurma,
lempengan batu, dan kepingan tulang, di samping terpelihara dalam hafalan para
sahabat. Para penghafal pada masa itu ialah Al-khulafah al-Rasyidin (Abu Bakar,
Umar bin Khathab, Usman bin Affan dan ali bin thalib), Sa’ad, Huzaifah, Abu
Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin
Abbas, Muawiyah bin abu Sufyan, ‘Aisyah dan yang lainnya. Adapun para penulis
wahyu diantaranya ialah Al-Khulafah al-Rasyidin, Zaid bin Tsabit, Ubay bin
Ka’ab, dan khalid bin walid.
Pada
zaman abu bakar, para penghafal dan penulis wahyu banyak yang gugur di medan
perang melawan musuh islam, terutama perang yamamah. Oleh karena itu, atas usul
Umar bin Khatab, ayat-ayat yang masih berceceran pada benda-benda tersebut di
himpun dalam mushaf. Tim penghimpun terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai
ketuanya dibantu oleh ubay bin Ka’ab, Usman bin Affan, ali bin abi Thalib, dan
para sahabat lainnya sebagai anggota. Hasil kerja tim adalah terkumpulnya
ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk mushaf yang selanjutnya di simpan di rumah abu
bakar.
Pada
zaman Umar bin Khatab, mushaf disimpan di rumahnya. Setelah di meninggal dunia,
mushaf selanjutnya disimpan di rumah hafshah, putri Umar bin Khatab, istri Nabi
SAW. Pada masa usman bin affan, mushaf lebih disempurnakan sehingga tersusunlah
lima mushaf Utsmani. Suatu mushaf disimpan di madinah yang kemudian disebut
mushaf al-imam dan empat lainnya masing masing dikirim ke mekah, suriah,
Basharah dan kufah untuk di salin dan diperbanyak. Selanjutnya, usman bin affan
menyuruh memusnahkan seluruh mushaf selain mushaf Utsmani. Mushaf hasil kerja
tim ini kemudian dijadikan mushaf standar untuk penulisan dan pencetakan
Al-Qur’an pada tahun-tahun berikutnya.
Kini beralih ke kandungan dan pesan-pesan yang dimuat
oleh Al-Qur’an. Pada bahasan terdahulu dijelaskan bahwa Al-Qur’an merupaka
nkitab Suci umat islam yang berfungsi sebagai petunjuk, tidak hanya bagi umat
islam tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Sebagai petunjuk, Al-Qur’an memuat
aturan dan ajaran yang meliputi berbagai dimensi kehidupan.
Menurut tim yang dibentuk oleh Departemen Agama Republik
Indonesia (1985 : 84-85), pesan-pesan yang dikandung oleh Al-Qur’an ialah
tauhid, Ibadah, jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta riwayat dan cerita
tentang sejarah orang-orang terdahulu. Abdul Wahab Khallaf menyebutkan bahwa
isi kandungan Al-Qur’an itu ialah masala akidah (Masalah ‘itiqadiyah). Dan
masalah amaliah yang mencakup ibadah dan muamalah. Khallaf merinci muamalah
menjadi muamalah yang berkaitan dengan individu (perdata), jinayah, Siyasah,
dusturiyah, acara peradilan, ketatanegaraan (dauliyah), dan masalah ekonomi.
Dilihat dari segi jelas tidaknya, para ulama
mengelompokkan ayat-ayat Al-Qur’an kepda dua bagian : ayat-ayat yang cukup
jelas (muhkamat), dan ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut yang
disebut ayat-ayat mutsyabihat. Oleh karena itu, di dalam memahami Al-Qur’an,
para ulama memerlukan perangkat lain untuk memudahkannya, lebih-lebih dari
sebagian ayat ada pula yang masih bersifat umum atau global.
Ilmu bantu untuk memahami Al-Qur’an diantaranya ‘Ulum
al-Qur’an dan ilmu tafsir. Dalam ulum Al-Qur’an dibahas, umpamanya, ayat-ayat
makiyyah, sebab-sebab turun Al-Qur’an (asbab nuzul), i’rab al-Qur’an, ilmu
Qira’ah, muhkam dan mutasyabih, am dan khas, nasikh dan mansukh muthlaq dan
muqayyad dan mafhum, haqiqah dan majaz, kinayah, ijaj dan ithnab, dan ta’wil. (jalal
al-Din al-Syuthi, t.th 203 dan 209).
Adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang masih dalam bentuk garis
besar memberikan peluang kepada para mufasir untu menjelaskannya. Dalam
menafsirkan Al-Qur’an, mereka tentu saja menggunakan kaidah-kaidah yang
sebagaiannya diambil dari ‘ulum Al-Qur’an.
Secara bahasa, tafsir berarti penjelasan dan keterangan
(al-Idlah wa al-bayan) (Muhammad Husaeni al-Dzahabi, 1976: 13).
Disamping itu, ia pun berasal dari wazan taf’il dari kata
fasara yang berarti menerangkan, membuka dan menjelaskan makna yang ma’qul
(Manna’ al-Qathan, 1981 : 227).
Secara istilah, ilmu tafsir, menurut Abu hayan, ialah
ilmu yang membahas cara melafalkan lafad-lafad Al-Qur’an serta menerangkan
makna yang dimaksudnya sesuai dengan dilalah (petunjuk) yang zahir sebatas
kemampuan manusia. Oleh karena itu, ilmu tafsir berusaha mencoba menjelaskan
kehendak Allah dalam batas kemampuan para mufasir.
Berangkat dari makna tafsir, baik secara bahasa maupun
istilah, tafsir berfungsi menjelaskan segala yang diisyaratkan oleh Allah SWT
Kepada Manusia untuk di taati dan dilaksanakan. (abd. Al-Hayyi al-farmawi,
1977: 16).
Melihat posisi tafsir di samping Al-Qur’an, maka tidak
semua orang islam dapat menafsirkan Al-Qur’an sekehendaknya. Ada beberapa
persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang muslim agar dapat menafsirkan
Al-Qur’an. Syarat-syarat itu ialah mengetahui dan memahami bahasa arab dengan
segala isinya, mengetahui ilmu sebab-sebab turun (asbab al-nuzul), mengetahui
ilmu qira’ah, mengetahui ilmu tauhid, mengetahui ilmu nasikh dan mansukh, dan
mengetahui hadis-hadis nabi. (Kafrawi Ridwan dkk., 1994 : 30)
Sebagaimana kafrawi dkk., Abdul Hayi al-Farmawi
(1977;17-20) mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang
mufasir, yaitu pertama, seorang mufasir harus mempunyai i’tiqad yang
kuat serta konsisten terhadap islam ; kedua, harus mempunyai keikhlasan
dan kemurnian tujuan ; ketiga, mendasarkan tafsirnya kepada al-sunah ;
keempat, mempunyai wawasan yang luas atas berbagai ilmu bantu seperti ahasa
Arab dan yang lainnya.
Seperti halnya ilmu pengetahuan lain, ilmu tafsir pun
mengalami pertumbuhan dan perkembangan, mulai masa Nabi Muhammad SAW sampai
masa kini. Pada masa Nabi, pemegang otoritas penafsiran Al-Qur’an itu adalah
Nabi sendiri sehingga segala persoalan yang muncul selalu dikembalikan
kepadanya. Namun, setelah beliau wafat, otoritas itu ada pada sahabat, tabi’in
dan tabi’it tabi’in yang telah memenuhi persyaratan.
Quraish shihab (1995 ; 71-72) membagi periode tafsir
kepada dua bagian. Pertama periode Nabi, sahabat dan tabi’in sampai
kira-kira tahun 150H. Kelompok tafsir periode ini disebut tafsir bi
al-ma’tsur. Corak tafsir ini bersumber pada penafsiran Rasulullah,
penafsiran sahabat, dan penafsiran tabi’in. Departemen Agama Republik Indonesia
menyebut periode pertama ini dengan Periode Mutaqadimin denga tenggang waktu
lebih lama dibandingkan dengan yang di kemukakan oleh Quraish Shihab. Periode
Mutaqaddimin, menurut Departemen Agama Republik Indonesia, berlangsung sejak
masa Nabi Muhammad SAW sampai kira-kira abad ke-4 Hijrah.
Pada ahli tafsir pada sahabat yang terkenal
diantaranya al-khulafa’ al-Rasyidin yang empat, ibnu mas’ud, abd Allah bin
Abbas (68 H), Ubay bin ka’ab (19H), Zaid bin Tsabit, abu Musa al-Asy’ary, dan
abd Allah bin Zubair. Di antara mereka
yang paling terkenal ialah abd Alah bin Abbas.
Tafsir para sahabat selanjutnya dijadikan rujukan oleh
para murid-muridnya (tabi’in) sehingga lahirlah thabaqat al-mufassirin
(tingkatan para penafsir). Di mesir muncul thabaqat yang tafsirnya merujuk pada
tafsir abd Allah bin abbas. Dimadinah muncul thabaqat lain, seperti Zaid bin
Tsabit, abd Al-Rahman bin Salam, dan imam malik bin anas. Dikufah muncul
thabakat yang bersumber dari ibnu Mas’ud.
Dari masa tabi’in beralih ke masa tabi’ tabi’in. Diantara
mereka yang terkenal adalah Sufyan bin Uyainah, Zaid bin Harun, Syu’ban bin
Hajjaj, dan waqi al-Jarrah sampai akhirnya muncul Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
al-Thabrani (w.310 H.) dengan kraya tafsirnya Jami’at al-Bayan fi Tafsir
al-Qur’an yang merupakan tafsir bi al-Ma’tsur.
Kedua, periode ketika hadis-hadis Rasul Allah telah
beredar luas dan berkembang hadis-hadis palsu di tengah-tengah masyarakat
sehingga menimbulkan banyak persoalan yang belum terjadi sebelumnya. Untuk
menyelesaikan persoalan tersebut, para mufasir mulai berijtihad. Kegiatan
ijtihad pada mulanya masih terikat pada kaidah-kaidah bahasa serta makna
kosakata. Namun, sejalan dengan berkembangnya masyarakat, peran akal dalam
berijtihad menjadi lebih subur. Ujungnya, lahir tafsir yang coraknya berbeda denga
tafsir coraknya berbeda dengan tafsir corak pertama (M. Quraish Shihab : 1995 ;
72 ). Periode kedua tersebut oleh Departemen Agama Republik Indonesia sebagai
periode muta’akhirin yang berlangsung antara abad ke-4 sampai abad ke-12
Hijriyah.
Corak tafsir yang muncul pada periode kedua
diantaranya sebagai berikut :
- Corak
kebahasaan, artinya Al-Qur’an ditafsirkan melalui pendekatan gaya
keindahan bahasa, seperti Tafsir al-Kasysyaf yang ditulis oleh Zamaksyari.
Masih tafsir yang bercorak ke bahasaan, tetapi melalui pendekatan tata
bahasa adalah tafsir Ma’ani al-Qur’an dan Tafsir al-Bahr al-Muhith yang
secara berturut-turut ditulis oleh al-Ziyad al-Wahdi dan abu hayyan
Muhammad bin Yusuf al-Andalusy.
- Corak
tafsir yang bahasanya menitikberatkan pada kisah-kisah umat terdahul,
seperti yang ditulis oleh al-Tsalabi, ‘alaudin bin Muhammad al-Bagdadi.
- Corak
fikih dan hukum, seperti Tafsir jami’ al-Qur’an, ahkam al-Qur’an, dan Nail
al-Maram yang masing-masing ditulis oleh al-Qurtubi, Ibnu ‘Arabi dan
al-Jashash, dan hasan shidiq Khan.
- Corak
tafsir yang menafsirkan ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat
Allah SWT, seperti Tafsir Maftah al-Ghaib karya imam Al-Razi (w.610 H).
- Corak
tafsir yang menitikberatkan pada isyarat ayat yang berhubungan dengan
tasawuf, seperti tafsir yang ditulis oleh abu Muhammad Sahl bin Abd Allah
al-Tsauri.
- Tafsir
corak gharib (yang jarang dipakai dalam keseharian), seperti tafsir yang
disusun oleh Muhammad Fuad Abdul baqi, yaitu Mu’jam Garab Al-Qur,an.
Disamping keenam corak tafsir diatas , M.Quraish
Shihab (1995;72-73) memasukan corak tafsir yang lain, yaitu tafsir bercorak
filsafat dan teologi, tafsir dengan penafsiran ilmiah, tafsir yang bercorak
sastra budaya kemasyarakatan, tafsir tematik (maudlu’i) dan tafsir ilmi.
Masih dalam periode kedua atau periode mutaakhirin,
lahir pula tafsir dari kalangan Muktazillah dan syi’ah. Tafsir dari kalangan
Muktazilah diantaranya ialah Tanzih al-Qur’an ‘an al-mata’in karya abd al-Qasim
al-Thahrir, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa al-Uyun al-Aqwal al-Ta’wil
karya abu Al-Qasim Muhammad bin Umar Al-Zamaksyari. Kelompok Syiah juga menulis
banyak kitab tafsir yang bahasannya lebih menitikberatkan pada Ali bin Abi
Thalib.
Departemen Agama Republik Indonesia masih menambah
satu periode lagi mengenai perkembangan tafsir, yaitu periode ketiga yang
disebut Periode Baru yang dimulai abad ke-9 M. Dalam sejarah perkembangan
pemikiran umat islam, periode ini dikenal dengan Periode Kebangkitan Kembali.
Pada periode ini muncul tokoh-tokoh pembaru seperti Jamaluddin al-Afgani,
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan, dan Ahmad Dahlan.
Kelahiran para pembaru berpengaruh terhdap karya
tafsir mereka. Tafsir yang menulis pada periode ini diantaranya al-Manar yang
mulanya ditulis oleh Muhammad Abduh lalul diselesaikan oleh muridnya, Rasyid
Ridha, Tafsir Mahasin Al-Ta’wil karya Jamal al-Din al-Qasimi, dan tafsir
Jawahir karya Thanthawil Jauhari.
Dilihat dari keterlibatan akal (ra’yu) dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, tafsir terbagi dua kelompok, tafsir bi al-ma’atsur
dan tafsir bi al-ra’y. Tafsir kelompok pertama diantaranya ialah jami’ al-bayan
fi Tafsir al-Qur’an karya al-Thabari, Bahr al-Ulum karya Nashr bin Muhammad
al-Samarkand, al-Kasyf wa al-bayan ‘an Tafsir al-Qur’an karya abu ishaq
al-Tsalbi, ma’alim al-Tanzil karya muhammad al-Hasan al-Bagawi, Al-Muharir
al-Wajiz fi tafsir al-Kitab al-‘aziz karya Muhammad al-Andalusi.
Adapun tafsir kelompok kedua (bi al-ra’y) di antaranya
al-Bahrul al-Muhith karya al-Andalusi, Gharib al-Qur’an wa Ragib
al-Furqan karya Nasamuddin al-Naisabur, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim wa al-Sab’a al-Matsani karya al-‘allamah al-Lusi,
dan mafatih al-Gharib karya fakhr al-Din al-Razi.
Jenis tafsir, baik bi al-Ma’tsur maupun bi
al-ra’y, sebetulnya masih banyak. Sekadar contoh, penulis rasa cukup
seperti disebutkan diatas. Tafsir-tafsir yang berbahasa Arab itu selanjutnya
ada yang dialihbahasakan ke bahasa lain, seperti bahasa Indonesia dn bahasa
Inggris.
III. KESIMPULAN
v
Al Quran adalah kalam
Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril
dalam Bahasa Arab, merupakan mukjizat Rasulullah, diajarkan secara mutawattir
dari genersi ke generasi, dimulai dari surat Al Fatihah dan diakhiri dengan
surat An Nas, membacanya merupakan ibadah serta terjaga dari perubahan dan
pergantian.
v
Nama-nama
lain dari Al Quran meliputi: Al Kitab, Al Kalam, Al Furqan, Adz Dzikri, Al
Huda, An Nur dan Asy Syifa.
v
Kandungan
Al Quran meliputi: Prinsip-prinsip keimanan, Prinsip-prinsip syariah
Prinsip-prinsip ibadah, Prinsip-prinsip akhlak atau etika, Janji dan ancaman
Sejarah kisah-kisah masa lalu dan Ilmu pengetahuan.
v
Fungsi
Al Quran meliputi: sebagai pedoman hidup dan pemberi petunjuk kepada umat
manusia, sebagai penjelas terhadap petunjuk tersebut, sebagai rahmat dan kabar
gembira bagi orang orang yang bertaqwa, sebagai penyempurna terhadap
kitab-kitab yabg telah turun sebelumnya serta sebagai mukjizat terakhir dan
terbesar bagi Nabi Muhammad SAW.
IV. PENUTUP
Alhamdulillah kami ucapkan
kehadirat Allah SWT dengan kekuasaannya dan dengan petunjuknya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini kita semua
dapat mengetahui dan memahami adanya Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam
sehingga dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin penyajian
makalah ini jauh dari kesempurnaan untuk itu kami mengharap kritik dan saran
yang membangun guna kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini juga dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin.