Kebudayaan Melayu dalam Perspektif Sejarah Nasional
Kebudayaan Melayu ternyata menjadi payung persatuan suku. Hal ini terjadi di Provinsi Riau. Meski kini telah terbagi wilayahnya dengan lahirnya Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), kerukunan etnis terpelihara dengan baik.Orang-orang asing menyebut Riau sebagai "the most rich province in Indonesia". Predikat tersebut nampak berlebihan, meski ada benarnya. Hasil minyak buminya lebih dari 650.000 barel sehari. Bisa dibayangkan, berapa banyak devisa yang disumbang ke pusat dan kemudian di bagi-bagi ke provinsi lain.
Sumber daya alamnya juga mengandung timah, bauksit, batu bara,granit, emas dan berbagai produk lainnya yang bernilai tinggi. Sedangkan hasil hutannya juga luar biasa. Baik berupa kayu gergajian, "plywood", "pulp" dan beragam produk lainnya. Sebagian besar wilayah Provinsi Riau terdiri dari hutan dan perkebunan. Sejak lama Riau menjadi ajang lalu lintas berbagai suku dan bangsa. Bahkan di abad 15 berfungsi menjadi tempat persinggahan bangsa-bangsa Portugis, Belanda, Inggris, Arab, Cina dan India.
Keunikan lainnya yang menonjol masyarakatnya majemuk. Hampir berbagai suku di Indonesia ada di Riau. Termasuk di Provinsi Kepri yang secara administratif sudah berpisah. Akan tetapi secara kultural dan ekonomi tetap menjadi satu."Kita hidup sejak lama dalam kebudayaan yang sama, bersatu dengan etnik lain dan membangun masyarakat multirasial," kata salah seorang pemerhati budaya Melayu, Huzrin Hood.
Karena itu, jangan heran suasana majemuk mewarnai kehidupan di Riau. Ada beberapa suku yang hidup, misalnya Melayu,Minangkabau, Bugis, Batak, Jawa,Flores, Banjar,Minahasa dan Buton.
Gubernur Riau HM Rusli Zainal sering mengatakan, kebudayaan yang pluralistik ini tak ubahnya seperti "miniatur Indonesia". "Kehidupan antara satu suku dengan lainnya berlangsung baik," ujarnya. Meski kadang kala ada gesekan, sifatnya hanya pribadi dan dalam skala kecil.
Itulah sebabnya dalam beberapa kali Pemilihan Umum(Pemilu), kondisi keamanan di Riau aman. Walau Riau juga merupakan lintasan kegiatan kelompok destruktif. Tetapi tidak menggoyahkan sendi persatuan "bhineka tunggal ika".
Kebudayaan Melayu berfungsi sebagai payung dalam kemajemukan suku. Menurut budayawan Riau yang menadapat gelar DR Honoris Causa di Malaysia, Tenas Effendy, masyarakat Riau selalu terbuka dan toleran terhadap suku lain.
"Komunitas tempatan tidak suka berselisih dengan etnik lain, selama menjaga kehormatan dan tata susila masing-masing," tuturnya kepada penulis sewaktu berada di Melaka, Malaysia baru-baru ini.
Sejak abad 15 sampai dengan abad 21, alam Riau bersifat terbuka. Artinya tidak tabu terhadap masuknya suku-suku lain.Namun yang harus dipelihara adalah kerukunan dengan tidak membangkitkan sentimen suku dan agama. Hal ini terbukti dengan kebebasan suku-suku lain melakukan tradisi sehari-hari.
Orang Jawa boleh main ketoprak sampai pagi. Masyarakat Batam tidak dilarang menari "Manotor". Orang Minangkabau tidak mengalami hambatan dengan suguhan tari dan nyanyi. Bahkan suku Banjar sekali-kali memainkan teater tradisional bernama "Mamanda", yang penuh dengan kias dan lambang.
Kebesaran suku Melayu tidak lepas dari pengaruh masa lampau, Kesultanan Lingga, Siak dan Indragiri. Sebab wilayah kekuasaan para sultan yang pernah memerintah Kepulauan Riau meliputi pula Singapura dan Malaysia.
Keadaan ini menjadikan adanya hubungan timbal balik dengan kedua negeri jiran tersebut.Arus kebudayaan Melayu bersifat universal. Baik di lingkungan kesultanan yang ada di Riau maupun dengan Singapura dan Malaysia, yang berfungsi sebagai perekat persatuan.
Kedekatan hubungan sesama rumpun Melayu juga tertumpu, karena kesamaan tradisi dan kedekatan geografis. "Hal inilah yang membuat Riau benar-benar terbuka bagi siapa saja," kata Tenas Effendy.Bahkan jika dibuat garis lurus sepanjang pantai timur dan gugusan kepulauannya, terdapat 232 desa yang berhadapan langsung dengan negeri jiran tersebut.
Yang tidak kalah pentingnya, bahasa Melayu merupakan "lingua franca". Sehingga bukan saja komunitas dari Singapura dan Malaysia yang menggunakannya, tetapi juga suku-suku lain di Indonesia.
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, di saat masing-masing daerah di Indonesia teguh mempertahankan bahasanya sendiri, ternyata bahasa Melayu bisa diterima sebagai instrument komunikasi. Sehingga para pedagang dari luar, dapat bergasul dan bertutur kata tanpa mengalmi kesulitan dengan penduduk setempat.
Dalam perspektif sejarah nasional, bahasa Melayu mampu mempersatukan berbagai suku di Indonesia. Padahal jika dilihat dari jumlahnya, sangat sedikit dibandingkan dengan suku Jawa yang paling besar.
Ada kemudahan-kemudahan dalam bertutur kata dan kalimat, yang tidak dimiliki suku-suku lain. Sehingga dalam berkomunikasi lebih lancar. Bahkan akhirnya semua suku yang jumlahnya besar mengakui bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
"Sumbangan terbesar Riau bagi Indonesia tidak semata-mata karena minyak buminya. Tetapi ada fakta sejarah lahirnya bahasa Indonesia yang bermula dari Riau. Sehingga mampu mempersatukan semua suku," kata Rusli Zainal.
28 Negara
Kekuatan bahasa Melayu dalam mempersatukan suku-suku dan wilayah yang terpisah-pisah di Indonesia, ternyata telah menyebar pula ke sejumlah negara. Terbukti ada manuskrip dan tulisan tangan berupa karangan yang
menyebar di 28 negara.
Dari catatan sejarah dapat diketahui, nama-nama negara yang memiliki naskah tersebut,antara lain Afrika Selatan, Amerika Serikat, Australia, Austria, Belanda, Inggris, Prancis, Belgia, Spanyol, Swedia dan Swiss.
Jika dikaji dalam perpektif sejarah nasional, jelas peranan kebudayaan Melayu melalui bahasa tidak kecil. Sehingga bukan hanya di Indonesia saja, bahasa Melayu berfungsi sebagai "lingua franca". Karena selain di Singapura dan Malaysia, komunitas Melayu terdapat pula di Bruneis Darussalam,Filipina Selatan, Sri Lanka, Madagaskar, Afrika Selatan dll.
Dengan demikian, sebenarnya posisi Riau dalam peta geopolitik dan sosial cukup memainkan peranan penting. Paling ada sekitar 400 juta pemakai bahasa Melayu yang berasal dari Riau. Artinya kekuatan kebudayaan Melayu cukup kukuh.
Namun persoalannya, modal besar yang dimiliki komunitas Melayu seharusnya diikuti dengan melakukan modernisasi bahasa. Sehingga suatu saat bahasa Melayu bisa menjadi bahasa internasional.
Meski sebagai perbandingan, bahasa Inggris menjadi bahasa internasional juga memakan waktu lama. Tetapi dengan perlahan-lahan, akhirnya dunia mengakui bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa internasional.
Dilihat dari pesrpektif sejarah internasional, posisi bahasa Melayu sebagai produk budaya hendaknya bukan sekedar alat pemersatu semata. Karena bahasa Melayu harus bisa pula menjadi bahasa ilmu pengetahuan, politik,sosial dan ekonomi.
Komunitas pemakai bahasa Melayu sebenarnya cukup besar. Akan tetapi potensi itu, tidak dimanfaatkan secara lebih unggul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar